Setiap bulan Juni dan Juli bangsa ini
disibukkan dengan tahun ajaran baru, yang berarti: mencari sekolah baru, buku
baru, seragam sekolah baru, guru baru, dan pelajaran baru. Begitu pun dengan
para lulusan baru: mencari kampus, sementara yang tidak mampu menunggu pekerjaan
baru. Bersamaan dengan itu turut bermunculan para pengangangguran baru, lalu
pengangguran baru lain yang datang beberapa bulan kemudian dari perguruan
tinggi. Peristiwa ini sudah berlangsung berpuluh tahun, dan mungkin akan
berlangsung lagi puluhan tahun.
Setiap lima tahun kurikulum dan kebijakan
pendidikan berubah meski masalahnya sederhana. Mereka merangkum setiap
kebutuhan anak-anak bangsa di masa depan, meramal perubahan jaman dari segala
sisi dengan teknologi kini menjadi pemimpin. Pendidikan moral sering kali jadi
perdebatan apakah dengan pendekatan agama atau budaya meski mereka sering
melupakan kejujuran. Bangsa ini harus pintar! Anak-anak harus pintar! Itulah
jawaban dari pertanyaan “Mengapa kita harus sekolah?” dan setelah itu jawaban
lain datang dalam bentuk Ujian Nasional.
Anak-anak menjalani ribuan jam demi mengerti
pelajaran yang akan mereka tinggalkan kelak, menghabiskan puluhan juta di
bangku bimbel, dan puluhan juta lainnya untuk membeli seragam, biaya eskul, dll.
Meski begitu sukses tampaknya sudah mengalami degradasi; mereka sudah senang
bisa kerja. Pekerjaan mereka mengubur kalkulus, teori ekonomi, relativitas
umum, dan teori-teori lain yang telah mereka pelajari bertahun-tahun.
Jadi buat apa sekolah?
No comments :
Post a Comment