July 30, 2015

Buat Apa Sekolah? (3)








Apa yang kamu lakukan ketika guru kamu mulai menjelaskan pelajaran.Mendengarkan dengan penuh perhatian atau mencatat? atau ....

Bagaimana kalau kamu ubah kebiasaan itu dengan bertanya, “Apa manfaatnya bagiku?”

Anggap saja, saat itu kamu sedang belajar sosiologi, istilah yang pernah kamu dengar tapi belum tahu maksudnya. Kamu mengangkat tangan dan berkata,

“Pak, saya ingin bertanya.”

“Silahkan,” kata gurumu yang mulai salut dengan apa yang kamu lakukan. Sebagian besar guru merasa tertantang jika salah satu siswanya berani memotong kuliahnya untuk bertanya.

“Saya bercita-cita ingin menjadi arsitek, apakah sosiologi penting dalam karir saya?”

Semua guru pasti akan menganggap pelajarannya penting lalu menghubung-hubungkannya. Tapi tidak dengan guru sosiologimu.

“Nak, sebenarnya sosiologi tidak berkaitan langsung dengan cita-cita kamu menjadi arsitek. Setidaknya kamu memiliki imajinasi dan rasa seni terhadap bangunan, dan untuk mewujudkannya, kamu harus mampu menggambar. Kamu bisa belajar Corel Draw atau program sejenisnya. Jika kamu merasa sosiologi tidak penting, kamu bisa mengesampingkannya. Saya tidak keberatan kamu menggambar rumah ketika bapak menerangkan atau tidak mengikuti kelas saya. Tapi saya berharap nilai kamu tidak terlalu jelek saat ujian nanti.”

“Apakah semua sosiolog seperti bapak? Kalau begitu saya mau jadi sosiolog saja deh pak.”



July 29, 2015

Buat Apa Sekolah? (2)






Sebagian dari kita tidak ingat setengah dari masa lalu kita, atau bahkan setengah dari setengahnya. Lalu, jika demikian, apa yang kita ingat dari belasan tahun sekolah yang pernah kita jalani? Saya pikir kamu lebih mengingat kantin atau bermain bola ketimbang pelajaran.

Baiklah, sekarang kita ubah pertanyaannya menjadi, “Apa yang harus kamu pelajari jika kamu bercita-cita jadi seorang dokter?”

Well, seharusnya kamu bisa menjawabnya dengan mudah.

Era informasi saat ini merevolusi cara kita belajar, akan tetapi hal itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan sekolah kepada para siswa. Sekolah masih menjadi “tempat yang baik” untuk menghabiskan masa muda, ‘pelajar/siswa’ merupakan status yang harus dimiliki orang berusia 6-17 tahun, atau, tidak sekolah berarti tidak cerdas. Padahal, hampir segala sesuatu yang dipelajari di sekolah bisa didapat di internet. Memang, pemerintah akan lebih mudah mengatur generasi mudanya dengan membagi mereka dalam kelompok (sekolah), tapi waktu 12 tahun akan menjadi sia-sia jika hanya mengandalkan kurikulum konvensional (wajib). Bahkan anggaran 20% APBN atau kampanye sekolah gratis juga tidak banyak manfaat.

Karena artikel ini ditujukan untuk pelajar maka tidak penting membahas masalah kurikulum. Kamu harus menerima apa adanya, belajar semaksimal mungkin, berdoa dan lulus dengan nilai yang tinggi. Tapi ingat, kamu hidup di jaman teknologi informasi yang bergerak sangat cepat dimana kesuksesan bisa kamu raih lebih awal daripada menunggu lulus kuliah. Antara kamu, seniormu, dan orang yang lebih muda dari kamu berada dalam garis ‘start’ yang sama. Saat ini doktor, profesor, ilmuwan, penulis, maupun pengusaha muda lebih banyak dihasilkan ketimbang tiga puluh tahun lalu. Pendapatan Philips, IBM, General Motor yang sudah berdiri selama puluhan tahun bisa dikalahkan oleh Google atau Facebook yang baru seumur jagung.

Kini sudah saatnya kamu menentukan jalur suksesmu sendiri, termasuk kamu yang baru diterima di SMA. Jadikan sekolah sebagai tempat berkreasi, menyalurkan ide-ide, mencari teman dengan visi yang sama, dan menghasilkan karya besar. Hmm, jika facebook bisa diciptakan di Harvard, lalu kenapa kamu tidak menciptakan sesuatu yang hebat di sekolah.



July 28, 2015

Buat Apa Sekolah? (1)





Setiap bulan Juni dan Juli bangsa ini disibukkan dengan tahun ajaran baru, yang berarti: mencari sekolah baru, buku baru, seragam sekolah baru, guru baru, dan pelajaran baru. Begitu pun dengan para lulusan baru: mencari kampus, sementara yang tidak mampu menunggu pekerjaan baru. Bersamaan dengan itu turut bermunculan para pengangangguran baru, lalu pengangguran baru lain yang datang beberapa bulan kemudian dari perguruan tinggi. Peristiwa ini sudah berlangsung berpuluh tahun, dan mungkin akan berlangsung lagi puluhan tahun.
Setiap lima tahun kurikulum dan kebijakan pendidikan berubah meski masalahnya sederhana. Mereka merangkum setiap kebutuhan anak-anak bangsa di masa depan, meramal perubahan jaman dari segala sisi dengan teknologi kini menjadi pemimpin. Pendidikan moral sering kali jadi perdebatan apakah dengan pendekatan agama atau budaya meski mereka sering melupakan kejujuran. Bangsa ini harus pintar! Anak-anak harus pintar! Itulah jawaban dari pertanyaan “Mengapa kita harus sekolah?” dan setelah itu jawaban lain datang dalam bentuk Ujian Nasional.
Anak-anak menjalani ribuan jam demi mengerti pelajaran yang akan mereka tinggalkan kelak, menghabiskan puluhan juta di bangku bimbel, dan puluhan juta lainnya untuk membeli seragam, biaya eskul, dll. Meski begitu sukses tampaknya sudah mengalami degradasi; mereka sudah senang bisa kerja. Pekerjaan mereka mengubur kalkulus, teori ekonomi, relativitas umum, dan teori-teori lain yang telah mereka pelajari bertahun-tahun.

Jadi buat apa sekolah?